Setelah minggu-minggu yang sibuk, Dido, Andre, dan seorang teman mereka memutuskan untuk pergi berlibur ke Bali. Pilihan itu muncul setelah mereka mempertimbangkan waktu yang hanya tiga hari. Barang-barang dan perlengkapan segera disiapkan, dan pagi itu mereka langsung terbang dengan penerbangan pertama.
Tiba di Bali, suasana tropis langsung menyambut mereka. Andre, yang sudah memesan penginapan, membawa mereka ke sebuah tempat bernama Villa Nirwana. Bangunannya tua, bergaya klasik, dan terlihat sunyi meskipun lokasinya cukup strategis.
Saat check-in, resepsionis menawarkan tiga kamar: 101, 202, dan 444. Angka terakhir itu langsung dipilih oleh Dido tanpa banyak pikir.
“Kami ada tiga kamar kosong, Pak. 198, 356, atau 444,” kata resepsionis dengan nada biasa saja. “444 aja, gampang diingat,” kata Dido.
Kamar itu terletak di ujung lorong, yang suasananya sedikit berbeda lebih gelap dan lembap. Udara di sana dingin, meskipun matahari masih terik. Pintu kamar mereka terbuat dari kayu jati tua, dengan beberapa goresan samar di permukaannya.
Saat pintu dibuka, kamar itu terlihat biasa saja: dua tempat tidur, lemari kayu tua, dan cermin besar di dinding seberang tempat tidur. Tidak ada yang istimewa, tapi juga tidak nyaman.
“Ini keren banget, klasik!” kata Dido sambil menjatuhkan tubuhnya di ranjang. Andre hanya mengangguk, meskipun ada perasaan ganjil yang mulai terasa di dalam ruangan itu.
Malam pertama mereka berjalan dengan tenang hingga tengah malam. Suara samar mulai terdengar dari arah cermin. Sebuah bisikan pelan berulang-ulang, “Keluar… dari sini…”
Jam menunjukkan pukul 2:04 dini hari ketika salah satu dari mereka terbangun karena suara itu. Dingin yang tidak biasa memenuhi ruangan. Lalu, sebuah bayangan tampak muncul di cermin. Itu adalah sosok seorang wanita, rambut panjangnya menutupi sebagian wajah, berdiri diam menatap ke arah kamar.
“Eh, kamu lihat itu nggak?” salah satu dari mereka bertanya dengan nada berbisik. “Apa?” Andre memandang cermin, lalu menggeleng. “Nggak ada apa-apa.”
Namun, perasaan ganjil itu semakin terasa. Mereka membangunkan Dido, yang tiba-tiba membuka matanya dengan ekspresi aneh. Yang lebih menyeramkan, bola matanya putih seluruhnya.
“Kenapa kalian ada di sini?” tanya Dido, dengan suara yang jauh berbeda dari biasanya.
Andre, yang mencoba menarik Dido keluar dari tempat tidur, terpental ke dinding dengan kekuatan yang tidak wajar. Sosok di cermin semakin terlihat jelas. Wanita itu berdiri di tengah ruangan, kulitnya pucat, dan pakaiannya berlumuran darah.
“Kalian sudah melanggar batas…” suara wanita itu bergema di kamar.
Ketika mereka mencoba melarikan diri, pintu kamar tak mau terbuka. Lampu padam, menyisakan sinar bulan yang masuk dari jendela. Suara wanita itu semakin keras, seolah datang dari segala arah.
“Pecahkan cermin itu!” Salah satu dari mereka berteriak.
Dengan cepat, Andre mengambil kursi kayu dan menghantamkan ke cermin sekuat tenaga. Retakan mulai muncul, tetapi suara wanita itu justru berubah menjadi jeritan yang menggema di seluruh kamar.
“Berhenti! Jangan hancurkan rumahku!” teriak wanita itu, wajahnya berubah semakin mengerikan.
Andre akhirnya melemparkan botol kaca ke cermin. Seketika, cermin itu hancur berkeping-keping. Jeritan wanita itu memudar, dan tiba-tiba lampu kamar menyala kembali.
Kamar terasa hangat kembali, meskipun mereka tidak mau tinggal lebih lama. Saat akhirnya pintu kamar bisa dibuka, mereka segera lari ke resepsionis.
“Kenapa kalian kasih kami kamar itu?! Ada sesuatu di sana!” salah satu dari mereka membentak resepsionis.
Resepsionis itu terlihat pucat. “Maaf, Pak… kamar itu memang ada sejarahnya. Tapi biasanya tamu-tamu lain tidak pernah mengeluh…” katanya pelan.
Ternyata, kamar itu adalah bekas kamar seorang wanita bernama Susi yang meninggal tragis di sana. Pihak villa tetap menyewakannya, meskipun beberapa kejadian aneh pernah dilaporkan.
Setelah pindah kamar, sisa liburan berjalan dengan normal. Namun, rasa tidak nyaman itu terus membekas. Bahkan, setelah kembali ke rumah masing-masing, ada satu hal yang terasa aneh: setiap kali mereka melewati cermin, seperti ada sosok lain yang diam-diam mengawasi.